Muh. Amier Arham (Ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNG)
Musim kampanye Pilkada telah digulirkan sejak tanggal 25 September 2024, para calon kepala daerah mulai memoles diri, membangun citra kepedulian menawarkan beragam program populis. Kampanye sejatinya memang dilakukan untuk memperkenalkan diri beserta visi, misi, dan program kerja yang akan dijalankan jika kelak terpilih. Momeles diri dan membangun citra tidak lain agar mereka bisa mendapatkan kepercayaan publik dalam rangka meraup sebanyak mungkin suara. Pelaksanaan Pilkada serentak memberikan nuansa baru, karena seluruh provinsi dan kabupaten/kota melaksanakan Pilkada, ia dapat menggerakkan UKM yang beririsan dengan kebutuhan alat kampanye. Pada lazimnya dimusim kampanye jumlah uang beredar bertambah karena konsumsi meningkat untuk memenuhi kebutuhan kampanye, data BPS menunjukkan momentum Pemilu akan selalu mengerek pertumbuhan ekonomi.
Pelaksanaan kampanye pastinya butuh modal yang tidak sedikit, sudah menjadi rahasia umum sebelum-sebelumnya calon kepala daerah akan wara wiri mencari “pemodal” untuk membiayai kampanye mereka hingga dihari pelaksanaan pencoblosan. Dengan pelaksanaan Pilkada serentak para “pemodal” akan menghadapi dilema, daerah mana dan calon siapa yang akan diberikan suntikan dana. Mereka membiayai calon bukan untuk bantuan, ada kompensasi yang diharapkan, misalnya merebut pengaruh terhadap kebijakan di daerah yang dapat memberi benefit kepadanya. Bila pelaksanaan Pilkada-Pilkada sebelumnya, para “pemodal” masih dapat bernafas panjang karena Pilkada dilaksanakan secara bergantian. Dengan kondisi sekarang, mereka akan cenderung lebih memilih daerah tertentu, maka para calon kepala daerah berpikir keras mencari modal sendiri untuk kebutuhan Pilkada, praktisnya menggandeng wakil yang punya “modal kapital” meskipun minim modal sosial. Di tengah pragmatisme politik dan rendahnya pendidikan politik. Publik tentu akan lebih transaksional, memilih mana yang dapat memenuhi kebutuhannya dalam jangka pendek. Kendatipun demikian, sejatinya calon kepala daerah tetap wajib mengedepankan politik gagasan, hadir memberi harapan bagi publik apa yang menjadi kebutuhan mereka dan keperluan daerah. Civil society dan akademisi tidak boleh putus asa menghadapi realitas politik sekarang yang makin transaksional, tak peduli kompetensi calon yang penting hari ini dapat sesuatu “bingkisan” dari calon. Membangun praktek demokrasi yang sehat dan substansial tidak bisa hadir sekejap, ia butuh proses karena itu diperlukan komitmen dari para kontestan yang bertarung. Dalam RPJPN salah satu agenda prioritas 25 tahun kedepan adalah membangun demokrasi substansial, dan pada umumnya RPJPD mengadopsi agenda (misi) ini.
Demokrasi substansial harapannya lahir pemilih-pemilih rasional, menjatuhkan pilihan karena visi dan misi yang ditawarkan. Dalam konteks ini para calon kepala daerah didorong menawarkan atau menjanjikan sesuatu kepada publik untuk keberdayaan, bukan cash and carry (napa doi mana suara). Bila praktek semacam ini berjalan, kepala daerah yang terpilih tidak lagi memiliki concern apa yang perlu dibangun dan dikembangkan, apalagi untuk kepentingan publik karena sudah merasa melunasi kewajibannya saat kampanye.
Fenomena lain yang dapat kita tangkap menghadapi Pemilu, para calon pemimpin kerap mengobral janji yang terkadang absurd dan tidak cermat, sulit menempatkan mana yang urgen dan mana yang penting. Di tengah kondisi anggaran yang terbatas maka perlu ada pilihan-pilihan program yang dijanjikan, sebaiknya orientasi pembangunan di tengah keterbatasan fiskal yang bersifat empowering, bukan carity yang membuat masyarakat menjadi tidak produktif, terus-terusan berharap bantuan sosial. Bahkan muncul calon-calon kepala daerah menduplikasi isu kampanye populis seperti yang terjadi pada saat Pilpres, pada akhirnya skema pembiayaan terus mengalami perubahan karena ruang fiskal untuk membiayai kampaye populis sangat kecil. Apalagi ruang fiskal daerah jauh lebih kecil, perhitungan ruang fiskal diperoleh dengan mengurangkan seluruh pendapatan dengan pendapatan yang sudah ditentukan penggunaannya (earmarked), seperti belanja wajib pegawai, dana pendidikan dan kesehatan, serta kewajiban pembayaran bunga (utang).
Mencermati pelaksanaan kampanye yang telah sebulan, serta membaca ringkasan visi, misi dan program calon kepala daerah di Gorontalo tidak sedikit memberi janji yang memang kesannya akan membuai calon pemilih, terutama yang disasar “local champion “ yang memiliki pengaruh, seperti tokoh adat, lembaga pemerintahan paling bawah dan tokoh agama. Mereka diberi janji mendapatkan kenaikan insentif, tentu kedepannya program yang dijanjikan tidak memberikan efek kepada orang banyak, hanya terbatas pada kepentingan “local champion”. Janji kampanye yang membuai, sebagian saya dapat pastikan akan sulit dijalankan karena membutuhkan anggaran yang tak sedikit. Terlebih memberikan harapan perbaikan kesejahteraan ASN, itu artinya akan menambah belanja pegawai. Disaat yang sama UU No 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah mengamanatkan bahwa setelah lima tahun UU ini berlaku pemerintah daerah wajib melakukan pembatasan proporsi belanja pegawai maksimal 30 persen dari total belanja APBD. Dengan demikian amanat UU ini segera akan dijalankan pada awal tahun 2027, maka janji perbaikan kesejahteraan ASN, pemberian insentif bagaikan menggantang asap.
Karena itu saya merekomendasikan, para calon kepala daerah sebaiknya lebih memberi ruang untuk mendorong masyarakat agar lebih berdaya, meningkatkan produktivitas dengan tidak membuai bantuan, kenaikan insentif dan atau model carity lainnya. Faktualnya semua daerah di Gorontalo baik provinsi maupun kabupaten/kota ruang fiskalnya kecil, apalagi anggaran untuk tahun fiskal 2025 telah ditetapkan, sementara tidak sedikit janji yang diobral di musim kampanye ini membutuhkan anggaran tidak sedikit yang harus direalisasikan pada tahun 2025. Kapasita fiskal yang terbatas akan menjadi tantangan terbesar dalam merealisasikan janji kampanye, anggaran di tingkat provinsi dan kabupaten/kota pada realitasnya rata-rata di atas 75 persen terserap untuk belanja operasional, sementara belanja modal yang merupakan “dompet” untuk pembiayaan janji kampanye sangat sedikit, bahkan ada kabupaten di daerah ini alokasi belanja modal kurang dari 15 persen. Alhasil selama lima tahun ke depan, kepala daerah yang terpilih hanya menjalankan program rutin, mereka lebih disibukkan membuka acara seremoni, selebihnya bolak-balik ke kementerian untuk mendapatkan bantuan (hibah).
Sejak tahun 2013 hingga Pilkada serentak di tahun 2024 saya diberi kesempatan oleh penyelenggara Pemilu bertindak sebagai panelis dan tim perumus, maka barang tentu berkesempatan membolak-balik dokumen visi, misi dan program kerja para calon kepala daerah. Nyaris semua calon kepala daerah luput menjadikan fiskal daerah sebagai program, memikirkan strategi meningkatkan kemampuan fiskal, padahal seluruh kampanye yang dijanjikan sangat bergantung dari kemampuan fiskal daerah.
Sebagai pengingat kepada calon pemimpin pada level manapun, kampanye di negara-negara yang sudah seattle, tema sentralnya berpusat pada bagaimana pendapatan negara (daerah) dapat meningkat. Kelompok mana yang akan disasar kenaikan pajak dan retribusi, dan siapa yang mendapatkan insentif fiskal, karena mereka sadar untuk membangun butuh anggaran. Kecuali Pemilu (Pilkada) hanya dipahami sebatas ritual politik lima tahunan belaka, kampanye dimaknai sebagai panggung teatrikal untuk meraih tepukan dari massa. Pada akhirnya kita dilanda ”demagog demokrasi”, yaitu pemimpin atau politisi yang banyak menebar janji agar dapat berkuasa, hanya saja setelah terpilih tidak berbuat apa-apa, selain keterbatasan kapasitas juga karena terbentur “nomenklatur” anggaran tidak tersedia.
Asesmen Lapangan Pendirian Program Studi Doktor Ekonomi
Pemilihan Dekan Fakultas Ekonomi Periode 2023 - 2027
Temu Masyarakat Akuntansi Multiparadigma Indonesia Ke-10
Pra Kongres APE-LPTK Tahun 2023 akan di laksanakan di Hotel Aston Kota Gorontalo, Tanggal 31 Juli - 2 Agustus 2023