Muh. Amier Arham--Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNG.
Provinsi Gorontalo telah memasuki usia ke 24 tahun, beberapa indikator makro ekonomi terus mengalami perbaikan, misalnya PDRB per kapita, tingkat IPM, APM tingkat SLTA seluruhnya meningkat signifikan, dan angka kemiskinan, serta Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menurun. Sementara pembangunan fisik tidak dapat dipungkiri jauh lebih maju dibanding sebelum lepas dari Sulawesi Utara. Atas capaian tersebut banyak pihak memandang Gorontalo menjadi model “best practice”, bahwa untuk mempercepat kemajuan pembangunan maka pemekaran dianggap sebagai solusi. Kendatipun demikian berbagai capaian yang telah di raih selama 24 tahun, sederet tantangan pembangunan dihadapi, dimana tantangan tersebut justru jauh lebih berat untuk diatasi ketimbang pada periode awal “kemerdekaan”. Tantangan pembangunan sekaligus menjadi isu strategis dalam dokumen RPJPD, seperti lambatnya proses transformasi ekonomi, kualitas SDM dan produktivitas tenaga tenaga kerja rendah, makin landainya penurunan angka kemiskinan, ketimpangan distribusi pendapatan, kerusakan lingkungan, kualitas infrastruktur masih rendah dan aksesiblitas wilayah yang belum merata serta tata kelola pemerintahan yang belum optimal, termasuk kapasitas fiskal kecil.
Tantangan ini tentu penting menjadi fokus perhatian pemerintahan baru hasil Pilkada serentak yang dihelat pada 27 November 2024, sebab lambatnya proses transformasi ekonomi akan menyulitkan pergeseran struktur tenaga kerja. Menumpuknya tenaga kerja di sektor primer (pertanian) menjadi kendala serius menurunkan angka kemiskinan, pada tahun 2023 penduduk kategori usia produktif yang bekerja di sektor pertanian sekitar 30 %, sebagian besar diantaranya merupakan petani penggarap. Apalagi tingkat pendidikan yang bekerja di sektor ini sebanyak 47,25 % di tahun 2023 hanya lulus SD atau tidak pernah sekolah. Mencermati data tersebut, maka kemudian dapat dipahami bahwa lambatnya proses transformasi (perubahan struktur) ekonomi menjadi hambatan untuk mempercepat penurunan kemiskinan. Sekalipun data menunjukkan selama dua dekade angka kemiskinan menurun namun sejak tahun 2009 penurunannya semakin melambat.
Masih tingginya angka kemiskinan di Gorontalo yang berfokus di perdesaan, penyebab lainnya adalah mutu SDM dan produktivitas tenaga kerja rendah. Kendati tingkat IPM terus menanjak, akan tetapi masih di bawah rata-rata nasional. Pada tahun 2024 tingkat IPM Gorontalo sebesar 72,01 dan nasional 75,02. Dari tiga komposit pembentukan IPM, paling bermasalah, yakni rata-rata lama sekolah, hanya sampai kelas 8 SLTP, sementara harapan lama sekolah 13,17 tahun lebih tinggi dibanding Sulawesi Utara. Artinya terdapat gap yang lebar antara rata-rata lama sekolah dan harapan lama sekolah, jadi yang mereka putus sekolah masih berharap dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi hingga tamat SLTA. Ini dikuatkan dari data APM SLTA masih rendah, pada tahun 2024 APM SLTA baru mencapai 61,23 %. Mereka yang tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi tidak banyak pilihan lapangan kerja, kecuali di sektor pertanian atau informal. Sementara kedua sektor tersebut tingkat produktivitasnya minim.
Kondisi ini relevan dengan hasil penelitian terbaru yang dilakukan oleh Erumbon dan de Vries (2024) di Asia dan Afrika sub-Sahara. Kesimpulan penelitian mereka menyebutkan, kemiskinan secara signifikan berhubungan dengan pertumbuhan produktivitas dan perubahan struktural. Sejalan dengan itu, gejala deindustrilasisasi dini terjadi di Gorontalo ditandai dengan makin menurunnya peranan sektor industri pengolahan, pada awal berdirinya sebagai provinsi peranan sektor industri sebesar 10 %, belakangan makin menciut tinggal rata-rata 4 % per tahun. Alhasil menciptakan masalah baru karena ketimpangan distribusi pendapatan yang diukur dengan Gini Ratio cenderung meningkat, padahal tahun 2002 Gini Ratio Provinsi Gorontalo hanya sebesar 0,265 dan pada tahun 2024 sebesar 0,414, atas capaian tersebut menempatkan Gorontalo sebagai daerah dengan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan tertinggi ketiga secara nasional. Tingkat ketimpangan yang tinggi akan melemahkan pengentasan kemiskinan, sekaligus menghalangi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan (Ayub, 2013).
Sebagai daerah yang mengandalkan sektor pertanian dalam pembentukan ekonomi memiliki dampak terhadap kerusakan lingkungan, dikarenakan peningkatan produktivitas hasil pertanian cenderung lebih memilih metode ekstensifikasi, dengan cara memperluas okupasi lahan, termasuk pada lahan-lahan yang memiliki kemiringan yang seharusnya berfungsi sebagai catch area untuk menahan longsor dan banjir. Dimana bencana merupakan salah satu faktor penyumbang kemiskinan, sebab dengan bencana dapat merusak aset produktif bahkan melenyapkan sumber kehidupan masyarakat. Tidak itu saja, ia juga dapat merusak infrastruktur. Padahal kualitas infastruktur di Gorontalo masih rendah serta ketersediaannya terbatas, khususnya infrastruktur jalan. Jalan dalam kondisi rusak berat lebih panjang ketimbang jalan kondisi baik, meskipun jalan kondisi rusak berat paling banyak merupakan tanggung jawab kabupaten/kota. Namun secara keseluruhan menjadi kendala untuk memperlancar arus barang dan pergerakan manusia.
Terbatasnya infrastruktur karena supporting anggaran minim, sehingga pembangunan infrastruktur lambat, dari tahun ke tahun hanya fokus pada pemeliharaan, selaras dengan itu infrastruktur untuk kebutuhan layanan dasar pun kurang optimal. Di tengah keterbatasan anggaran, dimana belanja APBD Gorontalo didominasi oleh belanja operasional mencapai 77,76 %, sementara belanja modal sendiri hanya 9,70 %. Padahal belanja modal diproksi sebagai pembentukan modal tetap bruto paling efektif mendorong pertumbuhan ekonomi, sekaligus mengatasi kemiskinan.
Rekomendasi Mengatasi Tantangan:Proses pembangunan ekonomi yang berlangsung, transformasi struktural ekonomi merupakan necessity condition dari peningkatan dan kesinambungan pertumbuhan serta penanggulangan kemiskinan, sekaligus pendukung bagi keberlanjutan pembangunan itu sendiri. Untuk mendorong perubahan struktur ekonomi investasi adalah jawabannya, pergeseran struktur tidak mungkin hanya mengandalkan belanja pemerintah, apalagi kapasitas fiskal terbatas. Pemerintah daerah sedapat mungkin bersinergi, ego sektoral pemerintahan harus dihilangkan apalagi dokumen perencanaan nasional dan daerah (provinsi, kabupaten/kota) sudah sangat selaras. Sinergitas dalam hal menciptakan daya tarik investasi, faktor daya tarik investasi yang perlu menjadi perbaikan oleh pemerintah daerah, diantaranya; kelembagaan/kebijakan, sosial politik, ekonomi daerah, tenaga kerja dan infrastruktur (KPPOD, 2002).
Investasi yang akan masuk ke Gorontalo diharapkan memanfaatkan sumber daya tersedia, misalnya investasi pengolahan produk pertanian dan SDA. Dan pemerintah memiliki tugas menyiapkan tenaga kerja terampil, pembukaan atau pengembangan sekolah vokasi yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja menjadi prioritas. Pada konteks ini Pemda perlu memperkuat kolaborasi dengan perguruan tinggi yang memiliki program studi vokasional. Apalagi tantangan pembangunan di Gorontalo salah satunya adalah produktivitas tenaga kerja yang rendah, serta masih tingginya angka putus sekolah. Disaat yang bersamaan, Pemda disemua level berdasarkan kewenangannya perlu melakukan intervensi keras agar tidak ada lagi anak putus sekolah.
Selain itu, investasi juga menjadi sufficiency condition untuk mempercepat penurunan kemiskinan, hadirnya investasi dapat menggeser struktur tenaga kerja yang selama ini menumpuk di sektor non produktif (pertanian). Data SUSENAS 2023 menunjukkan RT miskin sebanyak 63 % bekerja di sektor pertanian, angka ini sekaligus dapat memberikan informasi yang baik bagi pemerintah daerah. Kedepan intervensi pengentasan kemiskinan secara sektoral fokus di pertanian, serta pembangunan fisik lebih diperkuat pada wilayah pedesaan. Pemda perlu memberikan arahan dan mereview rencana pembangunan desa dengan lebih memperkuat pada pemberdayaan, sementara intervensi APBD fokus pada pembangunan fisik (infrastruktur) jalan untuk memperlancar aksesibillitas angkuatan barang (produk pertanian) ke pasar.
Selain itu, peningkatan daya saing daerah juga patut jadi pertimbangan, yaitu ketersediaan kawasan industri, atau Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Dalam hal pengembangan kawasan industri maupun KEK antar pemerintah daerah sinergi menjadi keharusan, tidak boleh kabupaten berlomba-lomba mengajukan diri menjadi kawasan industri dan KEK. Pemerintah provinsi harus menjadi leaders dalam pengembangan kawasan industri ataupun KEK, kehadiran kawasan industri/KEK dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, serta meningkatkan daya saing, disaat yang sama memberikan fasilitas bagi beberapa kawasan yang lokasinya memiliki akses ke pasar global, baik melalui pelabuhan maupun bandara. Hadirnya investasi tidak hanya mendorong perubahan struktur ekonomi, ia sekaligus mendongkrak pendapatan daerah karena meningkatnya kegiatan ekonomi masyarakat. Sehingga pemerintah daerah tidak perlu berpikir, bahwa untuk memperluas ruang fiskal dalam rangka membiayai pembangunan dengan cara melobi ke pusat, karena itu bukan solusi jangka panjang untuk menjadikan Gorontalo sebagai “Provinsi Madani yang Maju dan Berkelanjutan”. Dirgahayu Provinsi Gorontalo ke 24 tahun.
Asesmen Lapangan Pendirian Program Studi Doktor Ekonomi
Pemilihan Dekan Fakultas Ekonomi Periode 2023 - 2027
Temu Masyarakat Akuntansi Multiparadigma Indonesia Ke-10
Pra Kongres APE-LPTK Tahun 2023 akan di laksanakan di Hotel Aston Kota Gorontalo, Tanggal 31 Juli - 2 Agustus 2023